Rahasia Diplomasi bagi Papua Kita Pelajari dari Timor Leste

Terima kasih sudah menonton. Jangan lupa like, komentar, dan subscribe ya!

Mengapa Papua Belum Merdeka? Pelajaran Penting dari Strategi Diplomasi Timor Leste

Timor Leste, negara kecil di Asia Tenggara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, kini dikenal sebagai contoh sukses perjuangan diplomasi modern. Sejak merdeka pada 2002, negara ini menunjukkan kemajuan yang stabil dalam bidang politik, ekonomi, dan relasi internasional.

Fakta ini memunculkan satu pertanyaan besar:
Mengapa Papua, dengan kekayaan alam dan potensi yang besar, belum mencapai hal serupa?


Bukan Hanya Tentang Kemerdekaan, Ini Tentang Strategi Global

Baru-baru ini, dalam sebuah forum resmi di Timor Leste, terjadi diskusi publik antara intelektual Indonesia Rocky Gerung dan tokoh legendaris kemerdekaan Timor Leste, Xanana Gusmão. Diskusi itu membahas tema besar: politik, diplomasi, dan masa depan bangsa.

Channel YouTube ManusKrip Papua mengangkat kembali momen penting ini, khususnya pada aspek diplomasi dan strategi perjuangan di era modern. Dalam konteks Papua, ini bukan semata-mata soal kemerdekaan, tapi bagaimana suatu wilayah dengan identitas kuat bisa menyuarakan aspirasinya secara damai dan efektif di mata dunia.


Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Diplomasi Timor Leste?

Timor Leste memenangkan perhatian dan simpati dunia bukan melalui kekuatan senjata, tetapi melalui kekuatan strategi diplomasi yang terencana, konsisten, dan cerdas.

Mereka berhasil:

  • Membangun narasi perjuangan yang menyentuh hati publik global.
  • Menyusun strategi komunikasi internasional yang kuat.
  • Mendapat dukungan luas dari organisasi internasional seperti PBB dan NGO hak asasi manusia.

"Perjuangan yang memenangkan hati dunia, bukan hanya medan perang."


Tantangan Papua: Diplomasi yang Masih Terfragmentasi

Papua memiliki keunikan budaya, kekayaan sumber daya alam, dan semangat perjuangan yang sudah berlangsung lama. Namun, dibandingkan dengan Timor Leste, strategi perjuangannya di ranah internasional masih terpecah-pecah dan belum terfokus.

Beberapa tantangan utama:

  • Kurangnya narasi bersama yang mewakili suara mayoritas rakyat Papua di forum internasional.
  • Minimnya koneksi diplomatik global yang bisa memperkuat posisi tawar di dunia internasional.
  • Kurangnya konsistensi dalam mengangkat isu HAM dan keadilan sosial secara berkelanjutan.

Waktunya Merumuskan Ulang Strategi Perjuangan

Jika Papua ingin memperjuangkan aspirasinya di panggung global, ada beberapa hal penting yang perlu diperkuat:

🔹 Bangun Koalisi Diplomatik yang Bersatu

Organisasi dan tokoh Papua harus menyuarakan agenda bersama dengan pendekatan damai, inklusif, dan profesional.

🔹 Maksimalkan Peran Diaspora dan Akademisi

Generasi muda Papua yang belajar di luar negeri atau aktif di bidang akademik dan HAM bisa menjadi jembatan komunikasi diplomatik.

🔹 Belajar dari Timor Leste

Bukan meniru, tapi mengadaptasi cara mereka dalam membangun kredibilitas perjuangan melalui diplomasi yang strategis dan berbasis data.


Diskusi Ini Bukan Provokasi, Tapi Refleksi

🛑 Disclaimer: Artikel dan video ini bertujuan untuk analisis kritis dan edukasi publik, bukan untuk menghasut, menyebarkan kebencian, atau melanggar hukum nasional maupun kebijakan platform digital.

🎥 Cuplikan dalam video bersumber dari kanal GMNTV Streaming. Silakan kunjungi kanal resminya untuk dokumentasi lengkap dan resmi acara.


Ajak Diri Anda Terlibat: Dialog Adalah Langkah Awal Perubahan

Jika Anda peduli dengan isu diplomasi, HAM, dan masa depan wilayah-wilayah yang ingin bersuara di tingkat global, konten ini bisa menjadi pintu diskusi yang sehat dan terbuka.

👍 Jangan lupa untuk like, share, dan subscribe channel ManusKrip Papua untuk konten mendalam lainnya.

“Papua bukan hanya tentang masa lalu. Papua juga tentang masa depan—dan masa depan itu perlu strategi.”


Adu mulut Edison Gwijangge dengan Sebby Sambom | Ketegangan Memuncak Soal Papua!

Video Thumbnail
ManusKrip Papua – Ketegangan internal dalam tubuh perjuangan Papua Merdeka memuncak setelah munculnya perang narasi antara dua tokoh penting: Edison Gwijangge, Penjabat Bupati Nduga, dan Sebby Sambom, Juru Bicara TPNPB-OPM. Perselisihan ini bermula dari proses pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, yang ditangkap oleh kelompok bersenjata di Nduga, Papua.

Siapa Edison Gwijangge?

Edison adalah birokrat asal Papua Pegunungan. Ia pernah menjabat sebagai:

Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Nduga

Asisten III Setda Provinsi Papua Pegunungan

Diangkat sebagai Penjabat Bupati Nduga pada 5 Juni 2023


Edison juga diketahui memiliki hubungan keluarga dengan Egianus Kogoya, Panglima Kodap III TPNPB-OPM.

Pembebasan Pilot dan Awal Konflik

Setelah menjabat, Edison diberikan mandat untuk membantu pembebasan pilot Susi Air yang telah lama disandera oleh kelompok bersenjata pimpinan Egianus. Misi ini berhasil. Namun keberhasilan itu justru memunculkan dugaan adanya manipulasi dan suap.

Sebby Sambom menuduh Edison menjanjikan uang miliaran rupiah kepada Egianus Kogoya untuk membebaskan sang pilot. Ia bahkan menyebut Egianus telah ditipu. Di sisi lain, Egianus Kogoya membantah keras menerima uang dalam bentuk apa pun.

Situasi ini memicu konflik internal di tubuh TPNPB-OPM. Sebby mengancam akan mundur sebagai juru bicara jika Egianus tidak diadili oleh Dewan Militer TPNPB.

Hubungan Rumit Antara Hormat dan Kekecewaan

Walau berseteru keras, Sebby Sambom tetap menyatakan bahwa ia menghormati Egianus sebagai Panglima Kodap III. Namun, ia menyayangkan keputusan Egianus yang mengumumkan Wamena sebagai medan perang. Dalam bentrokan yang terjadi kemudian, keponakan Edison Gwijangge, yang juga merupakan pengawal Egianus, dilaporkan tewas.

Perang Narasi di Tengah Perjuangan

Konflik ini kini tidak hanya terjadi di balik layar. Narasi terbuka terus dilontarkan oleh kedua tokoh melalui berbagai media. Edison dan Sebby saling menuduh, saling mengancam, dan memperlihatkan betapa retaknya koordinasi dalam perjuangan Papua Merdeka saat ini.

Meski demikian, Egianus Kogoya tetap dihormati di dalam struktur militer TPNPB-OPM, menandakan bahwa perjuangan kemerdekaan Papua terus mengalami dinamika kompleks di berbagai lini.


Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis berdasarkan informasi publik yang beredar serta pernyataan dari para tokoh terkait. Semua pihak berhak menyampaikan klarifikasi untuk menjaga keseimbangan informasi.

Intan Jaya, 18 Juni 2025 – Tim Gabungan Evakuasi Warga Sipil Terdampak Situasi Keamanan di Distrik Sugapa

Pada tanggal 18 Juni 2025, Pastor Dekan Dekanat Moni Puncak Jaya bersama Tim Penanganan Konflik dari Pemerintah Kabupaten Intan Jaya turun langsung ke lapangan untuk melakukan upaya evakuasi terhadap masyarakat sipil yang terdampak situasi keamanan di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.

Berdasarkan laporan yang diterima, terjadi eskalasi situasi keamanan di sejumlah kampung seperti Gamagae, Bulapa, dan Galungama. Kontak senjata dilaporkan terjadi antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata di wilayah tersebut.

Akibat dari situasi ini, sejumlah warga sipil dilaporkan menjadi korban. Hingga saat ini, berdasarkan informasi awal yang diperoleh di lapangan, tiga warga sipil dikonfirmasi meninggal dunia, sementara beberapa lainnya masih dalam proses pendataan dan identifikasi oleh pihak berwenang.

Nama-nama warga yang diketahui menjadi korban jiwa dalam peristiwa tersebut antara lain:

  1. Aphon Kobogau (20 tahun) – warga Kampung Bulapa
  2. Yohanes Tipagau (40 tahun) – warga Kampung Mimitapa
  3. Isak Kobogau (43 tahun) – warga Kampung Mimitapa

Tim gabungan yang terdiri dari pihak gereja dan pemerintah daerah melakukan evakuasi terhadap masyarakat sipil, termasuk mereka yang sempat mengungsi ke hutan-hutan sekitar. Para pengungsi dibawa menuju Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya, untuk mendapat perlindungan dan bantuan kemanusiaan lebih lanjut.

Jenazah korban telah ditangani oleh keluarga dan masyarakat setempat secara adat pada dini hari tanggal 19 Juni 2025. Evakuasi masih terus dilakukan untuk menjangkau warga yang tersebar dan terdampak.

Situasi keamanan di wilayah tersebut hingga kini masih belum sepenuhnya kondusif, sehingga proses pendataan dan bantuan kemanusiaan masih dilakukan secara bertahap dan hati-hati.

Kami mengimbau semua pihak, baik media maupun organisasi kemanusiaan, untuk turut memantau perkembangan situasi ini dan memberikan perhatian terhadap kondisi masyarakat sipil di daerah konflik.

#IntanJayaDaruratKemanusiaan
#LindungiWargaSipil
#EvakuasiAman
#SolidaritasUntukIntanJaya

Pernyataan Resmi KOMNAS TPNPB: Warga Papua Nugini Bukan Pendatang, Tapi Anak Tanah Ini

Inspeksi Mendadak di Skouw: Wali Kota Abisai Rollo Usir Warga PNG

Video Thumbnail
Ketegangan sosial-politik kembali mencuat dari ujung timur Indonesia. Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, melakukan inspeksi mendadak di kawasan Skouw Sae—wilayah perbatasan yang menjadi titik temu antara Papua dan Papua Nugini. Dalam inspeksi tersebut, ia menemukan sejumlah warga PNG yang tinggal tanpa dokumen resmi. Tak hanya itu, pihak berwenang juga mengamankan satu unit sepeda motor yang diduga hasil curian serta satu pucuk senapan angin.

Pemerintah kota pun mengambil langkah cepat: para warga PNG tersebut akan diserahkan ke Imigrasi Jayapura untuk kemudian dideportasi ke negara asal mereka.

Namun… langkah ini langsung menuai gelombang protes. Bukan dari organisasi sipil biasa, tetapi dari Komnas TPNPB-OPM, organisasi perjuangan Papua Merdeka yang tak pernah benar-benar diam dalam dinamika konflik Papua.

Sebby Sambom: “Mereka Tidak Bisa Diusir dari Tanah Leluhur Mereka Sendiri!”

Mewakili Komnas TPNPB, juru bicara Sebby Sambom merilis pernyataan keras melalui video yang segera menyebar luas. Dalam video tersebut, ia menolak tegas tindakan pengusiran terhadap warga Papua Nugini yang menetap di Jayapura.

Menurut Sebby, warga PNG yang tinggal di Papua bukanlah imigran ilegal. Mereka adalah bagian dari masyarakat adat Papua yang terpecah akibat garis batas kolonial. Ia menegaskan bahwa wilayah Papua—baik yang kini menjadi bagian Indonesia maupun PNG—adalah satu tanah leluhur yang tak bisa dipisahkan oleh garis politik modern.

> “Wali Kota Jayapura tidak berhak mengusir mereka. Mereka bukan orang luar. Pemerintah seharusnya hadir untuk melindungi dan mengurus, bukan mengusir.”
— Sebby Sambom

Desakan Status Kewarganegaraan Ganda

Sebby juga menyampaikan bahwa pemerintah daerah seharusnya memperjuangkan kebijakan kewarganegaraan ganda untuk warga-warga yang tinggal di perbatasan. Langkah ini dianggap lebih manusiawi dan sesuai dengan prinsip hukum internasional tentang hak atas tanah dan identitas etnis.

Ia mengingatkan bahwa banyak orang Papua Timur melintasi batas negara bukan karena niat ilegal, tapi akibat sejarah panjang kolonialisme yang membelah satu suku bangsa menjadi dua negara.


---

OPM: Ini Bukan Sekadar Masalah Imigrasi

Komnas TPNPB mengingatkan bahwa pengusiran terhadap warga PNG bukan lagi sekadar soal pelanggaran imigrasi. Ini menyentuh akar konflik panjang antara Papua dan pemerintah Indonesia. Bagi mereka, setiap tindakan administratif seperti ini selalu membawa luka sejarah yang belum sembuh.

> "Jika pemerintah terus mengusir rakyat Papua Timur dari tanahnya sendiri, maka Komnas TPNPB tidak akan tinggal diam."



Ketika OPM berbicara, bukan hanya Indonesia yang mendengar—mata dunia juga mulai melirik kembali ke Papua.


Pertanyaan Besar: Hukum, Sejarah, atau Kemanusiaan?

Di tengah polemik ini, publik pun mulai bertanya-tanya:

Apakah tindakan Wali Kota Abisai Rollo murni penegakan hukum imigrasi?

Atau justru ini bentuk pengabaian terhadap realitas sosial dan historis masyarakat adat Papua?

Haruskah birokrasi kaku berdiri di atas luka sejarah yang belum selesai?


Di tanah yang dibilang sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi, mengapa anak-anak leluhurnya sendiri merasa terusir?


---

Penutup: Menyikapi dengan Bijak

Isu Papua adalah persoalan kompleks. Di balik setiap kebijakan pemerintah, ada latar sejarah dan rasa yang dalam. Artikel ini tidak bermaksud menyulut konflik, tapi mengajak kita semua untuk berpikir lebih luas, melampaui batas negara, dan masuk ke wilayah yang lebih dalam: kemanusiaan.

Apakah benar garis batas bisa memutus ikatan darah dan tanah?

Atau justru ini saatnya kita mulai menata kembali cara pandang terhadap wilayah yang selama ini hanya dilihat dari angka, peta, dan aturan?

DISCLAIMER: Artikel ini menyampaikan narasi yang mencerminkan situasi aktual di wilayah perbatasan Papua. Tulisan ini memuat pernyataan dari berbagai pihak yang terlibat, termasuk pemerintah daerah dan kelompok pro-kemerdekaan, dengan tujuan menghadirkan informasi secara utuh dan seimbang. Kami tidak berpihak pada salah satu kubu. Topik Papua adalah persoalan kompleks yang melibatkan sejarah, identitas, dan kemanusiaan. Pembaca diharapkan menyikapinya dengan kepala dingin dan empati yang tinggi.

Papua kembali terLuka di Ujung Mikrofon – Potret Ketimpangan Sosial dalam Pernyataan Seorang Pemimpin

Video Thumbnail
Papua Kembali Memanas Bukan Karena Senjata, tetapi RASIS di ujung Mikrofon – Abisai Rollo Nada Rasis Saat Live 100 hari kerja.


Pada hari Senin, tanggal enam belas bulan Juni tahun dua ribu dua puluh lima, bertempat di Aula Siaan Soor, Kantor Wali Kota Jayapura, Papua, sebuah kegiatan yang semestinya menjadi ruang pertanggungjawaban dan refleksi kinerja, justru berubah menjadi ruang kegaduhan sosial. Expose seratus hari kerja Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, dan Wakil Wali Kota Rustam Saru, secara mengejutkan menjadi sorotan tajam publik bukan karena pencapaian kerja, melainkan karena pernyataan yang bernada diskriminatif dan memecah belah.

Wali Kota Abisai Rollo dalam video yang kini beredar luas, menyatakan: “Yang biasa palang dan demo itu orang-orang gunung. Bukan orang-orang Port Numbay.” Sebuah kalimat pendek, namun memiliki dampak panjang. Ucapan ini seketika menyulut reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emmanuel Gobay, seorang tokoh hukum yang dikenal vokal dalam isu keadilan dan hak asasi manusia. Dengan tegas, Emmanuel Gobay meminta Wali Kota Abisai Rollo untuk segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat, karena menurutnya pernyataan tersebut tidak hanya menyakitkan tetapi juga membahayakan keharmonisan sosial antarwarga Papua.

Pernyataan tersebut tidak bisa dibaca sebagai kekeliruan biasa. Ia adalah cerminan dari pola pikir elitis yang terus membelah masyarakat Papua ke dalam kategori “gunung” dan “pantai”, seolah-olah ada hierarki nilai berdasarkan asal-usul geografis. Dalam konteks Papua yang telah lama terluka oleh diskriminasi dan marginalisasi struktural, pernyataan seperti ini bukan hanya tidak etis – ia berbahaya.

Kritik pedas pun datang dari masyarakat, termasuk dari kalangan netizen yang menyoroti ketidakkonsistenan dalam narasi yang disampaikan oleh sang wali kota. Mereka mempertanyakan: bagaimana bisa seseorang berbicara soal siapa yang memalang, ketika praktik pemalangan tanah, bangunan, laut, bahkan yang paling ekstrim – udara – telah menjadi gejala umum, tak peduli dari wilayah mana pelakunya berasal?

Lebih dari itu, masyarakat mengingatkan bahwa Mengklaim moralitas berdasarkan asal-usul hanyalah bentuk baru dari kolonialisme internal yang tidak pernah selesai.

Komentar warga menjadi bukti bahwa masyarakat tidak tinggal diam. Seorang warga menulis: “Sekali-kali coba Bapak Abisai ngaca baru bicara. Jual-jual tanah, palang tanah, palang bangunan, palang laut. Itu bukan orang Port Numbay kah? Mau bilang, tapi nanti dibilang rasis. Abisai kan ondo too, kasihan, lihat di telapak kaki, lihat di halaman rumah baru bicara boleh.”

Dalam politik, kata-kata adalah senjata. Dan ketika senjata itu dipakai untuk membedakan, merendahkan, dan menciptakan batas, maka yang muncul bukanlah kepemimpinan, melainkan dominasi. Di titik ini, masyarakat Papua tidak butuh pemimpin yang hanya hadir di podium dan upacara – mereka butuh pemimpin yang mampu merangkul, bukan menyakiti. Yang menyatukan, bukan mengelompokkan.

Pernyataan Abisai Rollo, terlepas dari niat awalnya, telah menoreh luka. Dan luka itu tak cukup diobati dengan pembelaan, tapi harus dengan pengakuan, permintaan maaf, dan perubahan nyata. Karena seorang pemimpin bukan dinilai dari seberapa tinggi jabatan yang ia pegang, tetapi seberapa dalam ia memahami rakyat yang ia pimpin.