Tampilkan postingan dengan label Abisai Rollo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Abisai Rollo. Tampilkan semua postingan

Pernyataan Resmi KOMNAS TPNPB: Warga Papua Nugini Bukan Pendatang, Tapi Anak Tanah Ini

Inspeksi Mendadak di Skouw: Wali Kota Abisai Rollo Usir Warga PNG

Video Thumbnail
Ketegangan sosial-politik kembali mencuat dari ujung timur Indonesia. Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, melakukan inspeksi mendadak di kawasan Skouw Sae—wilayah perbatasan yang menjadi titik temu antara Papua dan Papua Nugini. Dalam inspeksi tersebut, ia menemukan sejumlah warga PNG yang tinggal tanpa dokumen resmi. Tak hanya itu, pihak berwenang juga mengamankan satu unit sepeda motor yang diduga hasil curian serta satu pucuk senapan angin.

Pemerintah kota pun mengambil langkah cepat: para warga PNG tersebut akan diserahkan ke Imigrasi Jayapura untuk kemudian dideportasi ke negara asal mereka.

Namun… langkah ini langsung menuai gelombang protes. Bukan dari organisasi sipil biasa, tetapi dari Komnas TPNPB-OPM, organisasi perjuangan Papua Merdeka yang tak pernah benar-benar diam dalam dinamika konflik Papua.

Sebby Sambom: “Mereka Tidak Bisa Diusir dari Tanah Leluhur Mereka Sendiri!”

Mewakili Komnas TPNPB, juru bicara Sebby Sambom merilis pernyataan keras melalui video yang segera menyebar luas. Dalam video tersebut, ia menolak tegas tindakan pengusiran terhadap warga Papua Nugini yang menetap di Jayapura.

Menurut Sebby, warga PNG yang tinggal di Papua bukanlah imigran ilegal. Mereka adalah bagian dari masyarakat adat Papua yang terpecah akibat garis batas kolonial. Ia menegaskan bahwa wilayah Papua—baik yang kini menjadi bagian Indonesia maupun PNG—adalah satu tanah leluhur yang tak bisa dipisahkan oleh garis politik modern.

> “Wali Kota Jayapura tidak berhak mengusir mereka. Mereka bukan orang luar. Pemerintah seharusnya hadir untuk melindungi dan mengurus, bukan mengusir.”
— Sebby Sambom

Desakan Status Kewarganegaraan Ganda

Sebby juga menyampaikan bahwa pemerintah daerah seharusnya memperjuangkan kebijakan kewarganegaraan ganda untuk warga-warga yang tinggal di perbatasan. Langkah ini dianggap lebih manusiawi dan sesuai dengan prinsip hukum internasional tentang hak atas tanah dan identitas etnis.

Ia mengingatkan bahwa banyak orang Papua Timur melintasi batas negara bukan karena niat ilegal, tapi akibat sejarah panjang kolonialisme yang membelah satu suku bangsa menjadi dua negara.


---

OPM: Ini Bukan Sekadar Masalah Imigrasi

Komnas TPNPB mengingatkan bahwa pengusiran terhadap warga PNG bukan lagi sekadar soal pelanggaran imigrasi. Ini menyentuh akar konflik panjang antara Papua dan pemerintah Indonesia. Bagi mereka, setiap tindakan administratif seperti ini selalu membawa luka sejarah yang belum sembuh.

> "Jika pemerintah terus mengusir rakyat Papua Timur dari tanahnya sendiri, maka Komnas TPNPB tidak akan tinggal diam."



Ketika OPM berbicara, bukan hanya Indonesia yang mendengar—mata dunia juga mulai melirik kembali ke Papua.


Pertanyaan Besar: Hukum, Sejarah, atau Kemanusiaan?

Di tengah polemik ini, publik pun mulai bertanya-tanya:

Apakah tindakan Wali Kota Abisai Rollo murni penegakan hukum imigrasi?

Atau justru ini bentuk pengabaian terhadap realitas sosial dan historis masyarakat adat Papua?

Haruskah birokrasi kaku berdiri di atas luka sejarah yang belum selesai?


Di tanah yang dibilang sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi, mengapa anak-anak leluhurnya sendiri merasa terusir?


---

Penutup: Menyikapi dengan Bijak

Isu Papua adalah persoalan kompleks. Di balik setiap kebijakan pemerintah, ada latar sejarah dan rasa yang dalam. Artikel ini tidak bermaksud menyulut konflik, tapi mengajak kita semua untuk berpikir lebih luas, melampaui batas negara, dan masuk ke wilayah yang lebih dalam: kemanusiaan.

Apakah benar garis batas bisa memutus ikatan darah dan tanah?

Atau justru ini saatnya kita mulai menata kembali cara pandang terhadap wilayah yang selama ini hanya dilihat dari angka, peta, dan aturan?

DISCLAIMER: Artikel ini menyampaikan narasi yang mencerminkan situasi aktual di wilayah perbatasan Papua. Tulisan ini memuat pernyataan dari berbagai pihak yang terlibat, termasuk pemerintah daerah dan kelompok pro-kemerdekaan, dengan tujuan menghadirkan informasi secara utuh dan seimbang. Kami tidak berpihak pada salah satu kubu. Topik Papua adalah persoalan kompleks yang melibatkan sejarah, identitas, dan kemanusiaan. Pembaca diharapkan menyikapinya dengan kepala dingin dan empati yang tinggi.

Papua kembali terLuka di Ujung Mikrofon – Potret Ketimpangan Sosial dalam Pernyataan Seorang Pemimpin

Video Thumbnail
Papua Kembali Memanas Bukan Karena Senjata, tetapi RASIS di ujung Mikrofon – Abisai Rollo Nada Rasis Saat Live 100 hari kerja.


Pada hari Senin, tanggal enam belas bulan Juni tahun dua ribu dua puluh lima, bertempat di Aula Siaan Soor, Kantor Wali Kota Jayapura, Papua, sebuah kegiatan yang semestinya menjadi ruang pertanggungjawaban dan refleksi kinerja, justru berubah menjadi ruang kegaduhan sosial. Expose seratus hari kerja Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, dan Wakil Wali Kota Rustam Saru, secara mengejutkan menjadi sorotan tajam publik bukan karena pencapaian kerja, melainkan karena pernyataan yang bernada diskriminatif dan memecah belah.

Wali Kota Abisai Rollo dalam video yang kini beredar luas, menyatakan: “Yang biasa palang dan demo itu orang-orang gunung. Bukan orang-orang Port Numbay.” Sebuah kalimat pendek, namun memiliki dampak panjang. Ucapan ini seketika menyulut reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emmanuel Gobay, seorang tokoh hukum yang dikenal vokal dalam isu keadilan dan hak asasi manusia. Dengan tegas, Emmanuel Gobay meminta Wali Kota Abisai Rollo untuk segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat, karena menurutnya pernyataan tersebut tidak hanya menyakitkan tetapi juga membahayakan keharmonisan sosial antarwarga Papua.

Pernyataan tersebut tidak bisa dibaca sebagai kekeliruan biasa. Ia adalah cerminan dari pola pikir elitis yang terus membelah masyarakat Papua ke dalam kategori “gunung” dan “pantai”, seolah-olah ada hierarki nilai berdasarkan asal-usul geografis. Dalam konteks Papua yang telah lama terluka oleh diskriminasi dan marginalisasi struktural, pernyataan seperti ini bukan hanya tidak etis – ia berbahaya.

Kritik pedas pun datang dari masyarakat, termasuk dari kalangan netizen yang menyoroti ketidakkonsistenan dalam narasi yang disampaikan oleh sang wali kota. Mereka mempertanyakan: bagaimana bisa seseorang berbicara soal siapa yang memalang, ketika praktik pemalangan tanah, bangunan, laut, bahkan yang paling ekstrim – udara – telah menjadi gejala umum, tak peduli dari wilayah mana pelakunya berasal?

Lebih dari itu, masyarakat mengingatkan bahwa Mengklaim moralitas berdasarkan asal-usul hanyalah bentuk baru dari kolonialisme internal yang tidak pernah selesai.

Komentar warga menjadi bukti bahwa masyarakat tidak tinggal diam. Seorang warga menulis: “Sekali-kali coba Bapak Abisai ngaca baru bicara. Jual-jual tanah, palang tanah, palang bangunan, palang laut. Itu bukan orang Port Numbay kah? Mau bilang, tapi nanti dibilang rasis. Abisai kan ondo too, kasihan, lihat di telapak kaki, lihat di halaman rumah baru bicara boleh.”

Dalam politik, kata-kata adalah senjata. Dan ketika senjata itu dipakai untuk membedakan, merendahkan, dan menciptakan batas, maka yang muncul bukanlah kepemimpinan, melainkan dominasi. Di titik ini, masyarakat Papua tidak butuh pemimpin yang hanya hadir di podium dan upacara – mereka butuh pemimpin yang mampu merangkul, bukan menyakiti. Yang menyatukan, bukan mengelompokkan.

Pernyataan Abisai Rollo, terlepas dari niat awalnya, telah menoreh luka. Dan luka itu tak cukup diobati dengan pembelaan, tapi harus dengan pengakuan, permintaan maaf, dan perubahan nyata. Karena seorang pemimpin bukan dinilai dari seberapa tinggi jabatan yang ia pegang, tetapi seberapa dalam ia memahami rakyat yang ia pimpin.