Tampilkan postingan dengan label Rasisme di Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rasisme di Indonesia. Tampilkan semua postingan

Papua kembali terLuka di Ujung Mikrofon – Potret Ketimpangan Sosial dalam Pernyataan Seorang Pemimpin

Video Thumbnail
Papua Kembali Memanas Bukan Karena Senjata, tetapi RASIS di ujung Mikrofon – Abisai Rollo Nada Rasis Saat Live 100 hari kerja.


Pada hari Senin, tanggal enam belas bulan Juni tahun dua ribu dua puluh lima, bertempat di Aula Siaan Soor, Kantor Wali Kota Jayapura, Papua, sebuah kegiatan yang semestinya menjadi ruang pertanggungjawaban dan refleksi kinerja, justru berubah menjadi ruang kegaduhan sosial. Expose seratus hari kerja Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, dan Wakil Wali Kota Rustam Saru, secara mengejutkan menjadi sorotan tajam publik bukan karena pencapaian kerja, melainkan karena pernyataan yang bernada diskriminatif dan memecah belah.

Wali Kota Abisai Rollo dalam video yang kini beredar luas, menyatakan: “Yang biasa palang dan demo itu orang-orang gunung. Bukan orang-orang Port Numbay.” Sebuah kalimat pendek, namun memiliki dampak panjang. Ucapan ini seketika menyulut reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emmanuel Gobay, seorang tokoh hukum yang dikenal vokal dalam isu keadilan dan hak asasi manusia. Dengan tegas, Emmanuel Gobay meminta Wali Kota Abisai Rollo untuk segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat, karena menurutnya pernyataan tersebut tidak hanya menyakitkan tetapi juga membahayakan keharmonisan sosial antarwarga Papua.

Pernyataan tersebut tidak bisa dibaca sebagai kekeliruan biasa. Ia adalah cerminan dari pola pikir elitis yang terus membelah masyarakat Papua ke dalam kategori “gunung” dan “pantai”, seolah-olah ada hierarki nilai berdasarkan asal-usul geografis. Dalam konteks Papua yang telah lama terluka oleh diskriminasi dan marginalisasi struktural, pernyataan seperti ini bukan hanya tidak etis – ia berbahaya.

Kritik pedas pun datang dari masyarakat, termasuk dari kalangan netizen yang menyoroti ketidakkonsistenan dalam narasi yang disampaikan oleh sang wali kota. Mereka mempertanyakan: bagaimana bisa seseorang berbicara soal siapa yang memalang, ketika praktik pemalangan tanah, bangunan, laut, bahkan yang paling ekstrim – udara – telah menjadi gejala umum, tak peduli dari wilayah mana pelakunya berasal?

Lebih dari itu, masyarakat mengingatkan bahwa Mengklaim moralitas berdasarkan asal-usul hanyalah bentuk baru dari kolonialisme internal yang tidak pernah selesai.

Komentar warga menjadi bukti bahwa masyarakat tidak tinggal diam. Seorang warga menulis: “Sekali-kali coba Bapak Abisai ngaca baru bicara. Jual-jual tanah, palang tanah, palang bangunan, palang laut. Itu bukan orang Port Numbay kah? Mau bilang, tapi nanti dibilang rasis. Abisai kan ondo too, kasihan, lihat di telapak kaki, lihat di halaman rumah baru bicara boleh.”

Dalam politik, kata-kata adalah senjata. Dan ketika senjata itu dipakai untuk membedakan, merendahkan, dan menciptakan batas, maka yang muncul bukanlah kepemimpinan, melainkan dominasi. Di titik ini, masyarakat Papua tidak butuh pemimpin yang hanya hadir di podium dan upacara – mereka butuh pemimpin yang mampu merangkul, bukan menyakiti. Yang menyatukan, bukan mengelompokkan.

Pernyataan Abisai Rollo, terlepas dari niat awalnya, telah menoreh luka. Dan luka itu tak cukup diobati dengan pembelaan, tapi harus dengan pengakuan, permintaan maaf, dan perubahan nyata. Karena seorang pemimpin bukan dinilai dari seberapa tinggi jabatan yang ia pegang, tetapi seberapa dalam ia memahami rakyat yang ia pimpin.